SUKU BANGSA ASMAT
1.
BAHASA
suku asmat menggunakan Bahasa-bahasa
yang digunakan kelompok bahasa yang oleh para ahli linguistik disebut sebagai
Language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya.
Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi
filum bahasa-bahasa Irian (Papua) Non-Melanesia. Ciri-ciri menonjol dari bahasa
suku bangsanya dapat diuraikan dengan cara menempatkannya setepat-tepatnya
dalam rangka klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, sub rumpun, keluarga,
dan sub keluarga bahasanya yang wajar, dengan beberapa contoh fonetik,
fonologi, suntaks, dan sementik, yang diambil dari bahan ucapan bahasa
sehari-hari. Bahasa dalam etnografi mempunyai sebuah lampiran yang berisi
daftar kata-kata dasar. Bahasa memang tidak mudah karena suatu bahasa
menentukan sebuah luas batas penyebaran bahasa tersebut. Perbatasan antara
daerah tempat tinggal dua suku bangsa hubungan antara individu warga
masing-masing suku bangsa seringkali sangat intensif sehingga ada
proses saling pengaruh-mempengaruhi antara unsur-unsur bahasa dari kedua belah
pihak.
Sistem perilaku masyarakat suku asmat
masih terpengaruh oleh bahasa leluhur mereka. Setan yang tidak membahayakan
hidup ilmu sihir hitam juga banyak dipraktikan di wilayah masyarakat Asmat,
terutama oleh kaum wanita. Seseorang yang mempunyai kekuatan ini dapat
menyakiti atau membunuh manusia. Ilmu ini biasanya diturunkan oleh seorang ibu
kepada anak perempuannya untuk senjata perlindungan diri. Bahasa-bahasa
tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir sungai dan Asmat
hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi menjadi bahasa
Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai
Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub
kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan
Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan
Kaimok.
Istilah bahasa yang digunakan suku asmat
:
1) Aipmu
ep = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke udik
2) Aipmu
sene = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke hilir
3) Aipmu
= bagian utama yang ada di tiap rumah bujang dan memiliki seorang kepala
4) Asmat-ow
= manusia sejati
5) Bis
= patung leluhur
6) Bivak
= rumah di hutan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara
7) Cemen
= bagian terpenting pada patung bis
8) Cicemen
= ukiran pada ujung perahu lesung panjang melambangkan anggota keluarga yang
telah meninggal
9) Fumiripits
= Sang pencipta
10) Iguana
= sejenis kapal
11) Jew
= rumah panjang yang berfungsi sebagai rumah bujang
12) Je-ti
= rumah bujang utama
13) Mbeter
= membawa lari
14) Papis
= saling tukar menukar istri
15) Persem
= perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang pemuda
dan pemudi yang kemudian diakui sah oleh kedua orang tua masing-masing
16) Pomerem
= emas kawin
17) Ti
= kayu kuning
18) Tinis
= perkawinan yang direncanakan
19) Wow-ipits
= pemahat Asmat
20) Yerak
= sejenis kayu
2.
LOKASI
Suku Asmat berdiam di daerah-daerah
yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih merupakan alam yang ganas
(liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang
Asmat ini tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian
terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat
ini Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat). Suku Asmat berada di antara Suku Mappi,
Yohukimo dan Jayawijaya di antara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau
Papua. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, Suku Asmat ada yang
tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km,
bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan
heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu
tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang
lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km.
Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya
cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.
Wilayah yang mereka tinggali sangat
unik. Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-laba sungai. Wilayah
yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama
Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik. Hampir setiap hari hujan turun
dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk
kewilayah ini, sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek
dan berlumpur. Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk diatas tanah
yang lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini. Orang
yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.
Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku Asmat
dahulu tinggal adalah sebagai berikut :
Sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak
bersalju abadi, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah timur
berbatasan dengan Sungai Asewetsy, sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Pomats. Pertemuan Sungai Pomats, Undir (Lorentz), dan Asewetsy,bersama-sama
kemudian menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir
Sungai Asewetsy terletak Agats, tempat kecamatan Agats, salahs atu dari empat
kecamatan yang membentang di wilayah Asmat.
3.
DEMOGRAFI
Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan
pasti. Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di
antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat,
berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara
keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9
persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45
jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen
kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar clan atau antar desa.
Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab kematian anak-anak dan bayi ,
terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh pneumonia, diare,
malaria, dan penyakit campak. Tragisnya pada kasus-kasus tertentu, si ibu
berperan dalam mempercepat proses kematian karena kurangnya pengetahuan.
Sebagai contoh seorang anak yang menderita diare, tidak diberi minum sehingga
mengalami dehidrasi yang menyebabakan kematian pada akhirnya.
Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.
4.
MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu sagu,
berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan mencari ikan di
sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga terkadang menanam buah-buahan
dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga dengan sengaja menanamnya di
kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di tengah-tengah hutan. Orang Asmat
hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi, lebih
menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya
Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat untuk
beberapa bulan, kemudian pidanh mencari tempat baru bila bahan makanan di
sekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan berarti hidup bebas, maka hal inilah
yang membuat mereka terkadang kembali ke hutan meninggalkan kampun yang telah
disediakan.
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara
suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata
hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan
sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular,
kasuari, burung, babi hitam, komodo dll.
mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni
mencari ikan dan udang untuk dimakan.
Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya, terutama untuk
mencari makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih
menggunakan metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat
tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu.
Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil
buruan. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi
mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau
daging binatang hasil buruan. Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita
lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu
bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal
suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu
jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan
sebagainya.
Tiap-tiap kampung memiliki daerah
sagu dan daerah ikan yang merupakan sumber makanan bagi seluruh warganya. Oleh
karena itu, berburu dan menangkap ikan merupakan kesibukan pokok masyarakat
Asmat.
5.
ORGANISASI SOSIAL
5.1
Status dan Peran
Dalam kehidupan orang
Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki
memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya,
seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan.
Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan
dan menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangka kaum laki-laki lebih sibuk
dengan melakukan kegiatan perang antar clan atau antar kampung. Kegiatan kaum
laki-laki juga lebih terpusat di rumah bujang.
5.2 Sistem
kekerabatan/ keluarga
Dasar kekerabatan
masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini,
yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3 m x 5
m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan
keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang
sesudah menikah menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga
yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu,
keluarga-keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan
2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita
tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota
keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.
5.3 Lembaga pernikahan
Sistem kekerabatan orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur
pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh
di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan
sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik
secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah
yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri
diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam
masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan
adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang
janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia
berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua
orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan
biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian
jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki
melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan
pertikaian dan pembunuhan.
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).
5.4 Sistem
pemerintahan
a) Pemerintahan secara tradisional (struktur paroh masyarakat)
Di setiap kampung yang didirikan di
wilayah masyarakat Asmat, terdapat satu rumah panjang yang merupakan semacam
balai desa dimana para warga kampung berkumpul membicarakan masalah-masalah
yang menyangkut kepentingan seluruh warga. Rumah panjang ini merupakan cerminan
kehidupan mereka di masa lampau. Rumah panjang dauhulunya berfungsi sebagai
rumah bujang, atau Je dalam bahasa Asmat, dimana kaum pria membicarakan dan
merembukan penyerangan serta pengayauan kepala.
Rumah bujang terdiri 2 bagian utama yang tiap bagian
dinamakan aipmu, yang dimana masing-masingnya dipimpin oleh kepala aipmu.
Sedangkan kepemimpinan Je secara keseluruhan dipimpin oleh kepala Je. Kepala Je
adalah orang yang diakui kekuasaannya berdasarkan kemampuan-kemampuan yang
menonjol. Kedudukan kepala Je, tidak harus diberikan kepada orang yang paling
tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan sebelum kepala baru terpilih.
Seringkali kepala Aipmu adalah kepala perang juga. Dia adalah orang yang mampu mengatur dan merencanakan strategi-strategi penyerangan secara besar-besaran dan meliputi satu kampung. Untuk dapat menggerakkan rakyatnya maka kekerasan merupakan sifat utama dan sifat itulah yang membantu dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepala Aipmu dipilih berdasarkan kepribadian dan keberhasilannya. Umur juga merupakan faktor penting. Pada umumnya, orang-orang muda belum mempunyai bobot bila mereka belum berkeluarga dan membuktikan keberaniannya dalam berperang. Dalam hal-hal tertentu , peranan pimpinan adat dapat dijalankan orang-orang yang ahli dalam berbagai lapangan. Misalnya, ahli bidang keagamaan memimpin upacara keagamaan, ahli menyanyi dan menabuh tifa berperan dalam upacara adat, bahkan ahli kebatinan adakalanya memimpin suatu upacara. Ada ahli lain yang sering dianggap lebih terhormat dibandingkan para pemimpin lainnya oleh masyarakat Asmat, yaitu seniman pahat patung (wow-ipits).
b)
Pemerintahan baru (non tradisional)
Berbeda degan pola tradisional, pola kepemimpinan dan
kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala
desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang
pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas
pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga agar
warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya.
Umumnya, jabatan kepala desa ini diserahkan kepada orang muda yang telah
mendapat sedikit pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan. Di dalam
tuganya, ia dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang biasanya adalah
seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.
Di samping itu, terdapat seorang kepala distrik yang
membawahi para ”polisi” desa yang mengatur hansip setempat. Kepala distrik
inilah yang memutuskan hukuman apabila terjadi pelanggaran yang cukup serius.
Tampak adanya suatu pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa. Di satu pihak, terdapat kepala desa beserta pembantu-pembantunya dan di
pihak lain terdapat kepala distrik yang menangani pelangaran-pelanggaran
khusus.
6.
RELIGI
6.1
Simbol-simbol (lambang) yang dipercayai/ digunakan
a. Simbol
manusia dan burung pada perahu
Orang Asmat biasa membuat ukiran di ujung perahu yang digunakannya. Ukiran
tersebut bersimbol manusia dan burung. Ukiran yang berbentuk manusia itu
melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka percaya bahwa almarhum akan
senang karena diperhatikan, dan kemanapun perahu dan penumpangnya pergi akan
selalu dilindunginya. Ukiran burung dan binatang terbang lainnya dianggap
melambangkan orang yang gagah berani dalam pertempuran dan lambang burung juga
digunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau binatang terbang
yang berwarna gelap atau hitam.
b. Hiasan
Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol burung kasuari atau kuskus.
Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila
sedang marah. Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus merupakan lambang dari
si pengayau kepala yang perkasa.
c. Pohon
c. Pohon
Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon. Pohon
merupakan benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat. Dalam pandangan
mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon melambangkan
kaki manusia, batangnya adalah tubuh manusia, dahan-dahannya adalah tangan
manusia, dan daun-daun adalah kepala manusia. Semua anggapan itu memiliki
alasan yang mendasar. Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan
berlumpur menyebabkan pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orang
Asmat.
c) Sagu
Sagu selain dijadikan bahan makan oleh masyarakat Asmat, sagu juga memilki
arti khusus tersendiri bagi orang Asmat. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Suatu
kehidupan dipercaya oleh orang Asmat keluar dari pohon sagu sebagaimana
kehidupan keluar dari rahim seorang ibu.
6.2 Mitos
dan dongeng
a) Dongeng
Fumeripits
Orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Sang Pencipta (Fumeripits).
Pada suatu masa, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak
sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia
kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena
kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung
dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia
membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, bergeraklah
patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang
dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud
manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan
kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.
Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang
disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru
yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini. Semua itu ada di
dalam dongeng suci Fumeripits.
b) Mitos pengayauan kepala
Awal mula pengayauan kepala orang dan kanibalisme di wilayah masyarakat
Amat adalah berdasarkan dari mitos yang hidup di dalam masyarakat Asmat sendiri
mengenai kakak beradik Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak adiknya,
Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Pada mulanya Biwiripits enggan, tetapi
karena terus didesak, ia pun memenggal kepala Desoipits. Sungguh aneh, kepala
Desoipits yang putus itu tetap hidup dan berbicara menuyuruh adiknya untuk
memisahkan bagian-bagian dari tubuhnya, untuk dibagikan sebagai makanan kepada
para pahlawan yang kembali perang. Sejak saat itu, munculah kebiasaan memakan
daging dan memenggal kepala manusia. Tengkorak manusia pun dihormati dan
disimpan, terutama tengkorak orang yang sanagt dicintai. Tengkorak saudara atau
kerabat terdekat selalu digunakan sebagai bantal kepala ataupun kalung,
sedangkan tengkorak musuh dipajang untuk memperlihatkan kebesaran dan
keperkasaan atau juga penolak bala.
6.3 Roh-roh
dan kekuatan magis
a) Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya.
Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin,
makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini
digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup
Setan yang membahayakn hidup ini dipercaya oleh orang
Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti
setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon
beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup
Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat
Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya
saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja.
Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya
baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang
disebut sebagai yi-ow.
b) Kekuatan
magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal-hal yang pantang dilakukan
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan
makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang,
barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang
mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin,
halilintar, hujan, dan topan.
6.4 Ritual/
upacara
a) Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak
mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir
hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap
hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh
bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa
mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menagis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya.
Tidak ada usaha-usaha untuk menogbati atau memberi makan kepada si sakit.
Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si
sakit akan ”membawa” salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di
sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan
pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi.
Keluarga
yang ditinggalkan segera berebut memeluk si sakit dan keluar rumah
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua
lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud
menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menagis setiap
hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya
juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak
menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah
laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian sedangkan jenazah wanita dikubur
dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum,
maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak
tanpa nisan. Dimanapun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan
kuburannya.
b) Upacara
perahu lesung (tsyimbu)
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru. Dalam
proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua
ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara
itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah
dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mngerjakan itu semua
adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu.
Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke
air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada
kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya
menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh
seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu
nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam
dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran
yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang
lainnya. Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan,
semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Pra pemilik perahu baru bersama dengan
perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di
kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi-nyanyian dan
penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan
diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna
putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita
bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga
yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka
persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai,
perahu-perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas-manasi
mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang.
Sekarang,
penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
c) Upacara
patung nenek moyang (mbismbu)
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di
dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur
(bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan
kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak
yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah
meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di
dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum
wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi
tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat
hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti
peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan
antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore. Upacara perang-perangan ini
bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan
untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak
ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi malapetaka di kampung
atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut
kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang
belum diantar ke tempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara
sungai Sirets.
Patung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga
yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan
paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan
hiasan-hiasan. Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung
yang dibangun di rumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan
mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan
agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang.
Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan
diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan
di daerah sagu hingga rusak
d) Upacara
pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang –orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah
keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi
orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga)
pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang
bersifat religius maupun yang bersifat non religius. Suatu keluarga dapat
tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan
atau upacara-upcara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah
bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah
bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan
tari-tarian dan penabuhan tifa.
7.
KESENIAN
7.1 Seni ukir/ pahat
Ragam kesenian suku Asmat yang
banyak dilakukan adalah seni pahat/ ukir. Benda-benda kesenian hasil ukiran
Asmat yang menarik adalah perisai-perisai, tiang-tiang mbis (patung bis/
leluhur), dan tifa.
Ukiran bagi suku asmat bisa menjadi penghubung
antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran
bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan
kebesaran suku asmat.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Percaya sebelum memasuki dusurga, arwah orang sudah
meninggal akan mengganggu manusia. gangguan bisa berupa penyakit, bencana
bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka
yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis
(Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat ulat sagu. Konon
patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini membuat patung
bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. sebab hasil ukiran
itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran. mereka tahu hasil
ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah diluar
papua.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa.
bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi
dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal
tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi
(alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Aneka warna gaya kesenian Asmat berdasarkan
bentuk dan warna dapat diklasifikasikan ke dalam 4 daerah :
a. Gaya seni Asmat hilir maupun hulu sungai-sungai yang
mengalir ke dalam TelukFlamingo dan arah pantai Casuarina (Central Asmat)
Benda seni yang termasuk dalam
golongan ini, telah terkenal sejak jaman ekspedisi militer Belanda pada tahun
1912. Ciri-ciri perisai dalam golongan ini adalah berbentuk persegi panjang dan
agak menyempit ujungnya. Di ujung atas ada hiasan ukiran phallus atau gambar
burung tanduk atau topeng. Motif-motif ukiran dalam golongan ini juga terdiri
dari motif burung kakatua, burung kasuari, kepala ular, kaki kepiting, dll.
Hiasan ukiran simbolis ini juga
terdapat di ujung perahu lesung, di bagian belakang perahu, datung perahu,
dinding tifa, ujung tombak, ujung panah, dll.
b. Gaya Seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat)
Perisai pada golongan ini berbentuk
lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan biasanya lebih padat dari
pada perisai-perisai lainnya. Bagian kepala terpisah dengan jelas dari bagian
lainnya dan berbenruk kepala kura-kura atau ikan. Kadang-kadang ada gambar
nenek moyang di bagian kepal, sedangkan hiasan bagian badan berbentuk musang
terbang, katak, kepala burung tanduk, ualr, dll.
c. Gaya seni Asmat Timur (Citak)
c. Gaya seni Asmat Timur (Citak)
Kekhususan seni pada golongan ini tampak
pada bentuk hiasan perisai yang biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang
sampai melebihi tinggi orang Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya
tidak terpisah secara jelas dari bagian badan perisai dan sering terisi dengan
garis-garis hitam atau merah yang diberi titik-titik putih.
d. Gaya seni Asmat daerah sungai Brazza
Perisai pada golongan ini hampir
sama besar dan tinggi dengan perisai pada golongan Asmat Timur. Bagian kepala
juga biasanya terpisah dari bagian badannya. Walaupun motif sikulengan sering
dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa digunakan adalah motif geometri,
lingkaran, spiral, siku-siku, dll.
7.2
Seni musik
Orang Asmat memiliki alat musik
khusus yang biasa digunakan dalam upacara-upacara penting. Tifa adalah alat
musik yang paling umum digunakan oleh masyarakat Asmat dalam kehidupannya.
Tifa-tifa ini biasa diukir dan dipahat oleh wow-ipits setempat.
7.3
Seni tari
Orang-orang Asmat kerapkali
melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu saat upacara sakral berlangsung.
Adanya gerakan-gerakan erotis dan dinamis yang dilakukan oleh kaum laki-laki
dan perempuan di depan rumah bujang (Je) dalam rangka upacara mbis.
8.
SISTEM PENGETAHUAN
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suku Asmat
adalah sebagai berikut :
8.1
Pengetahuan mengenai alam sekitar
Orang Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-rawa
berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya. Perbedaan pasang
dan surut mencapai 4-5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan oleh orang Asmat untuk
berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu pasang surut, orang
berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang
naik.
8.2 Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal
8.2 Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal
Pohon sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang Asmat tinggal. Oleh karena
itu, makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan makanan tambahan seperti
ubi-ubian dan berbagai jenis daun-daunan. Mereka juga memakan berbagai jenis
binatang seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi hutan, burung, telur
ayam hutan, dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Kehidupan dianggap
keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim ibu. Selain itu,
gigi-gigi anjing yang telah mati biasa digunakan sebagai perhiasan.
8.3 Pengetahuan
mengenai zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya
Orang-orang Asmat hanya mengenal 3 warna dalm kehidupannya, yaitu warna
merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah merah
dengan air. Untuk warna putih, orang Asmat membakar semacam kerang yang
kemudian ditumbuk dan dicampur dengan air. Sedangkan warna hitam diperoleh
dengan cara mencampurkan arang dengan air. Ketiga warna ini biasa terlihat pada
hasil ukiran dan juga cara berhias yang dilakukan oleh orang-orang Asmat.
8.4 Pengetahuan mengenai sifat dan tingkah laku (kebutuhan) antar manusia
Tempat tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah membuat
mereka perlu mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti misalnya batu
sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa tempat dimana suku Asmat
tinggal. Oleh karena itu, mereka telah mengatahui kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki oleh masyarakat merekas sendiri maupun masyarakat di luar daerahnya.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, suku Asmat telah mengenal sistem barter.
Mereka telah biasa melakukan barter dengan masyarakat lain yang tinggal di
daerah dataran tinggi untuk mendapatkan alat-alatseperti kapak, batu, dsb yang
memudahkan mereka dalam kehidupannya.
8.5 Pengetahuan mengenai ruang dan waktu
Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang-orang Asmat pun berangkat
pergi pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Selama di hutan,
mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.
Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum diambil pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan penduduk desa di lereng-lereng gunung.
Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum diambil pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan penduduk desa di lereng-lereng gunung.
9.
PERALATAN HIDUP
Masyarakat Asmat bermukin di daerah
dataran rendah yang berawa dan berlumpur. Di daerah sepanjang pantai tertutup
hutan rimba tropis yang di dominasi pohon mangrove dan hutan sagu. Kondisi
daerah masyarakat Asmat yang berawa menuntut masyarakat Asmat mempunyai perahu
sebagai alat transportasi. Salah satu alat tersebut adalah perahu yang bagi
masyarakat Asmat disebut perahu Lesung.
Kegunaan lain perahu Lesung bagi masyarakat Asmat
adalah sebagai alat untuk perang. Perahu Lesung masyarakat Asmat memiliki panjang sekitar 2,5–5 meter. Perahu ini dapat memuat
penumpang berjumlah 5-6 orang. Perahu Lesung dibuat 5 tahun sekali dan saat
peresmian perahu harus ada ritual yang dilakukan. Dalam
aktivitas sehari-hari masyarakat Asmat, perahu Lesung berfungsi sebagai
pengangkut dan pencarian bahan makanan yaitu untuk mencari ikan, mengambil
sagu, berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka
dapat melintasi sungai hingga puluhan kilometer.
Dalam 5 tahun sekali, masyarakat
Asmat membuat perahu-perahu Lesung baru. Dalam menciptakan perahu Lesung bahan
yang digunakan adalah kayu yang jarang digunakan yaitu diantaranya adalah kayu
kuning, ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak. Setelah
pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya,
batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu.
Untuk membuat perahu Lesung waktu
yang diperlukan sekitar 5 minggu. Proses pembuatan perahu yaitu pertama, batang
kayu yang kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan
dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar
supaya laju jalan perahu menjadi ringan. Panjang perahu mencapai 15-20 meter.
Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam di
cat putih, bagian luar di cat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi
dengan daun sagu.
Sebelum digunakan, semua perahu harus
diresmikan melalui upacara. Ada 2 macam perahu yang biasa digunakan, yaitu
perahu milik keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan
panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu kelompok biasa memuat antara 20-20 orang
dengan panjang 10-20 meter. Sedangkan untuk dayung terbuat dari kayu yang tahan
lama, misalnya kayu besi atau kayu pala hutan. Karena dipakai sambil berdiri, maka
dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh
setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan
rawa-rawa.
Dalam proses pengerjaan perahu Lesung
ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu tidak boleh membuat banyak
bunyi-bunyian di sekitar tempat membuat perahu Lesung. Pantangan yang lain
adalah masyarakat Asmat meyakini jika batang kayu diinjak sebelum ditarik ke
air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak bisa dipindahkan.
Adapun perahu-perahu Lesung sudah
pasti akan dukir oleh masyarakat Asmat yaitu bagian muka perahu terdapat ukiran
yang dinamakan cicemen, diukir menyerupai burung
atau binatang lainnya dengan makna sebagai perlambang pengayauan kepala.
Lalu ukiran manusia yang melambangkan saudara yang telah meninggal. Kemudian
perahu dinamakan sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu.
Di setiap ukiran bersemayam citra dan
penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku Asmat.
Ukiran pada perahu bagi suku Asmat dapat menjadi penghubung antara kehidupan
masa kini dengan kehidupan leluhur. Selain itu, pada masyarakat Amsat terdapat
upacara untuk menyambut panglima besar suku Asmat yang merupakan Bupati
Kabupaten Asmat.
No comments:
Post a Comment